Dua tahun yang lalu di halaman belakang rumah, saya menanam beberapa pohon. Ada pohon apel, belimping, juga jambu batu. Bibitnya saya dapatkan saat berkunjung ke rumah Paman di Majalengka. Sampai saat ini meski belum tumbuh besar apalagi berbuah, saya dituntut untuk membersihkan rumput di sekitar tanaman tersebut. Anda pasti bisa membayangkan bagaimana kondisinya bila jarang dibersihkan. Ya, yang akan tumbuh subur bukan tanaman kita, tapi rumput ilalang. Apa yang akan terjadi kemudian? Yang akan besar dan menghasilkan bukan tanapan apel, belimbing juga jambu batu saya, tapi rumput yang tidak enak dimakan. Begitu juga dengan takwa di hati kita. Perlu kita jaga, kita rawat, agar dia selalu ada dan tumbuh subur di dalam diri kita. Bagaimana menjaga takwa?
Sebelum tahu bagaimana cara menjaga takwa, kita harus lebih dulu paham dan mengerti betul apa itu takwa. Karena bisa jadi kita tidak bisa menjaga takwa bukan karena kita tak bisa dan tak tahu caranya, tapi kita tak tahu seperti apa takwa itu.
Suatu hari Umar bin Khaththab ra bertanya kepada Ubay bin Ka’ab ra tentang apa itu taqwa. Saat itu, Ubay bin Ka’ab justru malah balik bertanya kepada Umar: “Apakah Anda tidak pernah berjalan di tempat yang penuh duri?” Umar pun menjawab : “Ya, pernah.” Ubay bertanya lagi, “Lalu Anda berbuat apa?” Umar menjawab, “Saya sangat hati-hati dan bersungguh-sungguh menyelamatkan diri dari duri itu.” Ubay menimpali, “Itulah (contoh) taqwa.”
Al-Hasan Al-Bashri pernah menyatakan bahwa TAQWA adalah takut dan menghindari apa yang diharamkan Allah, dan menunaikan apa-apa yang diwajibkan oleh Allah. TAQWA juga bererti kewaspadaan, menjaga benar-benar perintah dan menjauhi larangan.
Setelah kita tahu percis takwa itu wujudnya seperti apa, kita baru akan dengan mudah memahami bagaimana cara menjaganya. Dari arti takwa di atas, kita tentu sudah terbayang bagaimana cara menjaganya.
Pertama, takwa itu bisa dijaga agar selalu subur dan ada dengan keta’atan, ketundukan pada syariat Allah. Takwa bukan sebab, ia adalah akibat dari keta’atan seluruh aktivitas kita pada Sang Pencipta kita, Allah Swt. Karena takwa adalah wujud dari keimanan. Iman itu harus melahirkan sikap, bagaimana kita menilai kehidupan ini, untuk apa hidup kita. Dari sikap tersebut lahirlah perilaku, mana yang akan kita lakukan mana yang akan kita tinggalkan. Mana yang akan kita perjuangkan, mana yang akan kita buang. Mana yang boleh dilakukan mana yang terlarang. Dari sikap inilah lalu muncul takwa.
Jadi, takwa itu bukan hadir begitu saja. Ia bukan turunan. Ia juga tidak diwariskan. Takwa lahir dan terwujud dari keta’atan kita. Jika kita ingin takwa itu ada, maka jaga diri kita agar selalu ta’at kepada syariat Allah Swt (Islam). Saat kita semakin taat kepada Allah, semakin tumbuh suburlah takwa dalam diri kita. Tapi, saat kita maksiyat, semakin mereduplah takwa dalam diri. Bila itu terus menerus, bisa jadi takwa pun hilang dari hidup kita. Seeprti apa kata’atan kita pada SyariatNya, itulah wujud dan nilai dari ketakwaan kita.
Kedua, jagalah takwa dengan menjaga diri kita dari hal yang sia-sia. Allah Swt berfirman bahwa beruntunglah orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang salah satunya: “dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna.” (QS. Al-Mukminun: 3)
Bahkan, Rasulullah Saw juga menyampaikan bahwa menjaga diri dari kesia-siaan adalah wujud kebaikan keislaman kita. “Di antara tanda kebaikan keIslaman seseorang: jika dia meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya.” (HR. at-Tirmidzi)
Betapa banyak waktu yang Allah berikan kepada, kita habiskan dengan hal-hal yang sia-sia, tidak bermanfaat. Baik bagi dunia kita, terlebih untuk Akhirat kelak. Waktu kita lebih banyak kita habiskan untuk nonton tv dari pada menbaca kitab suci (Alquran). Lebih nyaman baca koran dari pada baca Alquran. Lebih semangat nonton sepak bola meski dini hari dari pada tahajud di malam hari. Lebih asyik bikin gosip orang sekantor dari pada mengajak ikut pengajian di masjid. Lebih nyaman nongkrong di resto (cafe) dari pada munajad di masjid kantor. Ya, waktu kita banyak boros untuk hal yang sia-sia.
Jika kita tak bisa menjaga sikap dari hal sia-sia, bagaimana mungkin takwa akan bersemayam. Sementara takwa itu wujudnya kehati-hatian. Hati-hati tidak hanya terhadap yang haram, bahkan terhadap yang makruh dan mubah ia sangat hati-hati. Jangankan terhadap yang dilarang, yang mendekatinya pun sudah ia tinggalkan. Begitulah takwa.
Sekarang, mari kita terus berubah, memperbaiki diri kita agar kita mampu menjaga takwa agar tetap ada dan subur dalam diri kita. Yang dengan takwa itu Allah berikan kemudahan hidup kita. Semoga.