Beberapa hari yang lalu saya berkesempatan sharing bersama salah satu Ustadz yang gencar mengajak khalayak untuk menghafal Alquran dengan teknik “Menghafal Alquran Semudah Tersenyum.” Pada saat itu, beliau menceritakan bahwa beliau berjumpa dengan salah seorang Syaikh dari Gaza, Palestina, yang sudah berhasil meluluskan lebih dari 4000 hafidz (penghafal Alquran). Diceritakan bahwa ada seorang jama’ah yang bertanya kepada Syaikh, mengapa saudara kita yang di Gaza, yang kita tahu bahwa kondisinya sedang krisis, perang dan kacau, kok masih sempat ikut program menghafal Alquran. Apa yang memotivasi mereka seperti itu?
Pertanyaan yang wajar diungkapkan oleh kita yang ada di Indonesia, negeri yang aman jauh dari peperangan. Saat Sang Syaikh ditanya demikian, Syaikh tidak menjawab. Justru beliau berbalik bertanya kepada jama’ah. Beliau kurang lebih berujar, “Justru saya heran, kenapa orang Indonesia yang sedang dalam kondisi aman, jauh dari kekacauan, kenapa tidak bersemangat menghafal Alquran? Saya heran. Kami di Gaza, karena Alquranlah kami bisa selamat.”
Seketika saat mendengar cerita tersebut, saya menundukkan pandangan. Meski tak berhadapan langsung dengan Sang Syaikh, karena hanya diceritakan oleh sahabat saya yang kebetulan menjadi pembicara pertama, saya pembicara kedua, tetap saja hati ini luluh. Hanya satu kata yang ada dalam benak saya saat itu. Malu.
Malu karena kita di tempat yang aman, tapi berat untuk menghafal kitab suci yang diimani. Malu, kerena mereka saja yang di Gaza begitu bersemangat bercengkrama dengan Alquran, meski dalam suasana yang mencekam. Kita, yang ada di Indonesia, negeri yang tenang, tetap saja beralasan tidak punya waktu untuk bergaul dengan Alquran.
Padahal, kita yakin betul, kita beriman kepada Alquran. Kita pun meyakini, membacanya adalah sebuah kebaikan. Satu huruf yang dibaca adalah kebaikan yang akan dibalas sepuluh kebaikan. Demikian disabdakan Rasulullah Saw yang mulia. Menghafalnya juga kebaikan. Bahkan, kemuliaan kita nanti di akhirat salah satunya ditentukan oleh sebanyak apa hafalan Alquran kita. Orang yang tidak punya hafalan Alquran, Rasulullah Saw gambarkan seperti rumah yang akan roboh.
“Sesungguhnya orang yang dalam hatinya tidak ada al-Quran sedikitpun (yang dia hafal) bagaikan rumah yang akan roboh.” (HR. At-Tirmidzi)
Malu diri ini dibuatnya. Untuk membaca buku motivasi berjam-jam tahan. Untuk membaca firman Allah, sepuluh menit saja sudah tak tahan. Untuk berselayar di dunia maya, update status, cek email, berjam-jam tak berasa. Untuk bercengkrama dengan Alquran, satu jam saja sudah sangat lama dirasakan. Untuk mengisi training, berjam-jam, bahkan berhari-hari, enjoy dinikmati. Untuk membaca Alquran, baru 3 lembar, mata sudah berat dibuatnya. Untuk menyiapkan training, berulang-ulang membuat dan membaca script agar saat tampil bisa maksimal. Untuk menghafal Alquran, satu ayat saja bosen karena nggak hafal-hafal.
Duh, malu rasanya. Merasa diri hebat, berbagi di mana-mana. Menyampaikan apa saja. Tapi tetap saja jauh dari cukup hafalan Alquran di dalam kepala. Malu, merasa diri sudah banyak berbagi, tapi membagi waktu untuk firman Tuhan masih tak seberapa.
Ya Allah, ampunilah hamba…