Indonesia, sejuta keindahan dimilikinya. Hutan, gunung, laut, sawah, terhampar sempurna sebagai zamrud khatulistiwa. Indonesia, sejuta kekayaan dipunyainya. Melimpah hasil hutannya. Melimpah kekayaan lautnya. Melimpah barang tambangnya. Melimpah segala kekayaan yang terkandungnya. Di daratan, di lautan, semua menghasilkan. Di atas buminya, di dalam buminya, bahkan di perut buminya, semua memberi manfaat tak terperikan.
Lebih dari 2000 triliun rupiah bisa dihasilkan dari hutannya. Lebih dari 9,2 juta ton ikan berada di laut setiap tahunnya. Lebih dari 200 pon emas murni didapatkan setiap hari hanya dari 1 tambang dari berpuluh tambang yang dipunyainya. Indonesia, Allah takdirkan sebagai negeri kaya nan berlimpah.
Indonesia juga, Maha Suci Allah, Dia takdirkan berpenghuni Muslim terbanyak di dunia. Tapi, seakan jumlah itu tak juga memberi kesempurnaan berkah yang ditakdirkan di negerinya. Mayoritas Muslim penduduknya, namun mayoritas juga pelaku maksiyatnya. Mayoritas muslim penghuninya, namun mayoritas juga pelanggar syariatNya. Pahadal, Allah sudah menjanjikan mereka dengan identitas terbaik, ummat terbaik.
Mengapa Negeri nan kaya, namun rakyatnya lebih banyak menderita? Negeri yang kaya, namun kekayaannya tak bisa dirasa? Mengapa, Negeri yang berlimpah, namun berkah seakan lenyap sirna? Mengapa, negeri mayoritas Muslim dunia namun tak bisa tampil sebagai sebaik-baik penduduk? Mengapa? Mengapa?
Bukankah Allah Swt telah memberikan identitas terbaik kepada sosok Muslim yang notabene meyoritas di negeri ini? Allah berfirman:
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Ali-Imran: 110)
Setujukah Anda semua itu buah dari kemaksiyatan? Setujukah Anda bahwa semua berkah seakan hilang karena kerusakan yang dilakukan…? Karena berkah itu ada seiring dengan keta’atan. Berkah itu turun sejalan dengan ketundukan. Sedangkan kemaksiyatan itu sebab tertutupnya. Pembangkangan itu menjadi penghalang turunnya berkah. Dan pembangkangan terbesar adalah membangkang SyariatNya nan mulia, Islam.
Benarlah firman Allah yang mulia…
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Ruum: 41)
Sahabat, Andai Rasulullah Saw masih ada di dunia ini, berdiri di hadapan kita semua, lalu bertanya: “Apakah kalian adalah umatku?” Mungkin, kita dengan serentak akan menjawab, “Iya, ya Rasulullah, kami adalah umatmu!”
Andai Rasulullah Saw bertanya kembali: “Apakah penduduk negeri ini juga mayoritas mereka adalah umatku?” Dengan serempak juga kita pun pasti akan menjawab, “Iya, ya Rasulullah, mereka juga adalah umatmu!”
Andai Rasulullah Saw bertanya kembali: “Bagaimana dengan penguasa negeri ini, apakah mereka juga mayoritas adalah umatku?” Dengan serempak kita pun pasti akan menjawab, “Iya, ya Rasulullah, mereka juga adalah umatmu!”
Andai Rasulullah Saw bertanya kembali: “Jika kalian adalah umatku, mereka juga adalah umatku, mayoritas para penguasa negeri ini juga adalah umatku, mengapa bukan risalahku yang diterapkan di negeri ini? Jika kalian adalah umatku, mereka juga adalah umatku, mengapa aturan yang aku bawa tak diterapkan? Justru aturan manusia yang kalian terapkan?”
Beranikah kita menatap wajah Rasulullah Saw saat itu? Beranikah kita menjawabnya?
Cintakah kita kepada Rasulullah? Rindukah kita kepada Rasulullah? Siapkah kita mencintai Rasulullah melebihi dari apapun yang kita punya dan miliki? Siapkah kita berikrar untuk terus berjuang menyambut seruan Rasulullah, menyambut bisyarah (kabar gembira) Rasulullah akan datangnya Khilafah yang kedua? Siapkah kita untuk terus istiqomah dan komitmen berada dalam barisan yang memperjuangkan tegaknya syariat yang beliau bawa? Siapkah kita untuk segera meninggalkan semua system buatan manusia dalam bentuk apapun (baik Demokrasi maupun Sistem Ekonomi Liberal)? Siapkah kita?
Jika kita cinta dan rindu Rasulullah Saw, tentu kita semua siap melakukannya. Semoga Allah menguatkan langkah kita.