Ramadhan sudah meninggalkan kita. Berbagai rasa berkecamuk di dalam hati kita saat hilal Syawal mulai nampak, bahagia dan sedih bercampur menjadi satu. Bahagia karena atas ijin Allah kita sudah dipertemukan dengan bulan Ramadhan, bulan penuh kemuliaan. Sebulan penuh kita bisa menikmati jamuan indah Ramadhan dari Allah. Alhamdulillah. Namun, kita pun sedih karena saat 1 Syawal tiba, itu artinya kita berpisan dengan Ramadhan. Kita berpisan dengan bulan di mana Allah turunkan lailatul qadr, berpisan dengan bulan dimana Allah lipatgandakan amal kebaikan, berpisan dengan bulan dimana Allah curah-curahkan keberkahan. Sedih hati ini, karena entah tahun depan kita dipertemukan kembali atau tidak.
Di sisi yang lain kita pun berjibaku dalam perjuangan. Ya, perjuangan mempertahankan spirit Ramadhan seusai Ramadhan. Berjuang untuk tetap menjaga kualitas dan kuantitas amal ibadah kita di bulan Syawal dan ke depannya, sebagaimana kualitas dan kuantitas amal di Ramadhan kemarin. Tak mudah memang. Tapi itu harus diperjuangan, harus diupayakan. Bukankah taqwa yang merupakan buah dari ibadah puasa itu akan terlihat setelah puasa usai?
Suatu ketika Imam Al-Ghozali pernah ditanya oleh muridnya, “Wahai imam, seperti apakah shalat yang khusuk itu?” Sang Imam menjawab, “Shalat yang khusus itu terlihat dari mulai salam hingga takbiratul ihram!” Terbalik kali ya? Ya. Tapi memang begitu. Sang Imam ditanya oleh muridnya. “Terbaik kali wahai Imam?” Sang Imam menjawab, “Begitulah wahai anakku. Shalat kita khusuk terlihat dari mulai salam shalat kita hingga takbiratul ihram shalat berikutnya!” Jadi, shalat dzhur kita khusuk terlihat dari mulai salam shalat dzuhur hingga takbiraatul ihram shalat ashar. Bukankah shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar? Ya, itulah ukuran kekhusuan shalat, bukan hanya dilihat dari gerakan shalatnya saja.
Demikian halnya juga dengan Ramadhan kita. Jika shalat kita khusuk atau tidak terlihat setelah kita shalat, Ramadhan kita berhasil atau tidak juga tentu terlihat setelah kita melalui Ramadhan. Apakah Ramadhan kita berhasil atau tidak bukan hanya dilihat dari seperti apa kita di Ramadhan saja. Tapi seperti apa diri kita setelah Ramadhan pergi meninggalkan kita. Apakah lebih baik ataukah biasa saja? Apakah lebih dekat dengan Allah atau justru semakin jauh dariNya?
Karena takwa adalah ibrah ibadah shaum kita, maka tentu ukuran Ramadhan kita berhasil atau tidak diukur dari tingkat ketakwaan kita pasca Ramadhan. Jika Ramadhannya berhasil, tentu takwanya makin kuat. Jika tidak, ya tentu takwanya biasa saja. Lalu bagaimana mengukur tingkat ketakwaan kita pasca Ramadhan ini? Mari kita simak nasihat Imam ‘Ali bin Abi Thalib perihal seperti apa ciri-ciri orang yang bertakwa. Beliau menasihatkan bahwa ciri orang yang bertakwa itu ada empat:
Pertama, Takut kepada Rabb yang Maha Agung [khauf min ar-Rabb al-Jalil];
Kedua, Menjalankan apa yang diturunkan oleh Allah [al-‘amal bi at-tanzil];
Ketiga, Rela terhadap yang sedikit [ar-ridha bi al-qalil], dan
Keempat, Bersiap diri untuk menghadapi Hari Penggiringan [isti’dad li yaumi ar-rahil].
Mari kita ukur tingkat keberhasilan Ramadhan kita dengan empat hal di atas. Pertama, apakah usai Ramadhan hati kita semakin takut kepada Allah ataukah tidak? Semakin takut akan azabNya ataukah tidak? Semakin takutkah kita untuk bermaksiat kepadaNya ataukah tidak? Semakin takutkah kita akan siksaNya ataukah tidak? Jika kita semakin takut kepada Allah, semoga itu pertanda Ramadhan kemarin berhasil membina kita jadi pribadi yang semakin takut kepada Allah Swt.
Kedua, apakah usai Ramadhan kita semakin bergiat untuk mengamalkan apa-apa yang Allah turunkan, yakni syariat Islam? Apakah usai Ramadhan hidup kita semakin taat ataukah tidak dengan syariatNya? Apakah usai Ramadhan lebih banyak menjalankan semua syariatNya ataukah tidak? Jika usai Ramadhan kita semakin taat akan syariatNya, semoga itu menjadi pertanda takwa kita meningkat, itu artinya Ramadhan telah berhasil menggembleng kita.
Ketiga, apakah usai Ramadhan kita semakin ridha atas takdir Allah dan setiap keputusanNya atau tidak? Apakah usai Ramadhan kita semakin ikhlas atas setiap pemberian Allah atau tidak? Apakah kita tetap ridha ketika Allah beri yang sedikit ataukah tidak? Jika hati kita usai Ramadhan makin ikhlas dan ridha atas setiap pemberian Allah, itu pertanda takwa di hati makin meningkat, yang semoga itu pertanda Ramadhan berhasil membentuk diri kita.
Keempat, apakah usai Ramadhan diri kita semakin mempersiapkan bekal menuju hari kebangkitan ataukah tidak? Atau justru kita makin lalai? Apakah usai Ramadhan kita makin mempersiapkan diri untuk menghadapi hari pembalaan ataukah tidak? Atau justru kita makin terbuai dengan dunia dengan meninggalkan amal untuk bekal kita? Jika kita makin bersiap, makin serius mempersiapkan diri menghadapi kematian kita, makin bersiap menghadapi hari kebangkitan, itu pertanda takwa kita meningkat, yang menjadi tanda Ramadhan telah berhasil kita jalani.
Bagaimana dengan kita? Apakah Ramadhan kita berhasil? Semoga saja kita termasuk yang berhasil menjalani Ramadhan tahun ini dengan empat sifat di atas. Aamiin. Yuk Berubah!
@AsepFakhri | Asep Supriatna, Life Performance Trainer