Hari ini adek-adek SMP melangsungkan Ujian Nasional hari pertama. Empat hari ke depan mereka berjuang mengerjakan soal-soal ujian untuk menguji kemampuan dan kepahaman atas pembelajaran selama tiga tahun yang sudah dilaluinya di bangku SMP. Endingnya hasil UN ini menjadi salah satu penentu kelulusan mereka ke jenjang berikutnya (SMA). Tapi tidak sedikit yang demi kelulusan, banyak pihak, baik siswa maupun sekolah yang melakukan cara-cara curang. Yang penting lulus, tidak peduli dengan cara membocorkan soal atau menyontek. Duh, sedih juga ya. Semoga tahun ini tidak lagi ditemukan oknum pembocoran soal dan kunci jawaban UN seperti di tahun-tahun sebelumnya.
Berbicara tentang menyontek, sebenarnya sebuah perilaku yang enggan untuk jujur baik karena khawatir tidak lulus atau ingin nilainya lebih baik. Intinya dia tidak merasa yakin dengan kemampuannya. Jujur ini menjadi momok yang menakutkan. Padahal, seharusnya jujur itu menjadi ciri kebaikan pribadi. Ya kalau bisa, alhamdulilllah. Kalau tidak bisa, ya itulah kemampuan kita. Nyontek menjadi pemalsu keadaan itu. Semuanya menjadi seolah bisa dan mampu. Nyatanya, belum tentu. Begitulah.
Dalam kehidupan keseharian juga terjadi hal serupa. Beratnya nilai kejujuran sampai-sampai orang takut untuk jujur. Misalnya, ketika membuat laporan keuangan dalam sebuah proyek. Betapa sering para kontraktor memalsukan laporan keuangan, nggak mau jujur, karena khawatir untungnya kecil. Begitu juga dengan anak buah yang tiba di kantor telat, ia berusaha untuk berbohong mencari alasan agar atasan tidak marah. Jujur begitu mahalnya. Tak hanya itu, penyakit berpaling dari jujur juga sering terjadi kepada para trainer atau pengisi kajian. Ketika ditanya audien terkait suatu hal yang tidak bisa dia jawab, dia memaksakan diri untuk menjawab padahal tidak ada ilmu di dalam dirinya akan hal itu. Akhirnya, jawaban menjadi aneh dan bahkan menyesatkan. Padahal, kalau mau jujur, dia tinggal sampaikan bahwa dirinya tidak tahu jawabannya. Tapi karena khawatir dianggap “bodoh” dia rela berbohong demi menutupi ketiadaan ilmu.
Mari kita berkaca pada orang-orang pilihan yang patut menjadi contoh bagi kita terkait hal ini.
Abdullah bin Umar ra suatu ketika pernah ditanya tentang sesuatu. Karena beliau tidak mengetahui jawabannya beliau menjawab: “Laa adri (saya tidak tahu)”. Kemudian beliau berkata: “Apakah kalian ingin menjadikan punggung kami jembatan bagi kalian di neraka Jahannam, kalian mengatakan: ” Ibnu Umar telah berfatwa dengan ini.”
Masih banyak lagi kisah orang-orang sholih yang jika ditanya dan dia tidak tahu jawabannya mereka tidak senggan dan malu untuk menjawab tidak tahu. Mereka lebih memilih jujur dibandingkan berbohong demi ingin dianggap pintar dan bisa. Allah Maha Tahu atas apa yang ada dalam diri kita. Meski manusia berhasil kita bohongi, Allah tidak bisa kita bohongi.
Allah Swt berfirman: “Katakanlah: ‘Jika kalian menyembunyikan apa yang ada di dalam dada kalian, atau kalian menampakkannya, maka Allah mengetahui semua itu. Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan Allah maha kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al Imran: 29)
Rasulullah Saw bersabda, “Hendaklah kalian selalu berlaku jujur, karena kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan mengantarkan seseorang ke Surga. Dan apabila seorang selalu berlaku jujur dan tetap memilih jujur, maka akan dicatat di sisi Allâh sebagai orang yang jujur. Dan jauhilah oleh kalian berbuat dusta, karena dusta membawa seseorang kepada kejahatan, dan kejahatan mengantarkan seseorang ke Neraka. Dan jika seseorang senantiasa berdusta dan memilih kedustaan maka akan dicatat di sisi Allâh sebagai pendusta (pembohong).’” (HR. Bukhari-Muslim, Ahmad, At-Tirmidzi, Abu Dawud)
Sahabat, jujurlah pada diri sendiri. Jika kita tahu katakan tahu, jika tidak tahu atau tidak mengerti, sampaikan saja tidak tahu atau belum mengerti. Bukan sebuah keburukan menyampaikan bahwa diri kita tidak tahu atas sesuatu. Dari pada kita berdusta yang bisa menyesatkan? Jujur itu baik kok, in syaa Allah.