Saat sekolah dulu, saya paling takut untuk bertanding. Dalam hal apa pun saya tidak menyukai yang namanya pertandingan, turnamen, perlombaan atau yang semisal dengan itu. Kalau bermain kelereng dengan teman-teman, saya paling takut untuk berlomba. Takut kalah lah, takut kelerengnya habis, takut macem-macem. Meski sebenarnya kalau saya bermain kelereng tak selalu kalah, adakalanya juga menang. Di sekolah juga demikian. Saya meski juara kelas, tetap saja tidak menyukai lomba, baik lomba cerdas cermat, lomba menulis dan sejenisnya.
Ketakutan itu ternyata terbawa hingga saat SMA. Ketika yang lain ikut les persiapan UMPTN, saya malah lebih memilih mencari jalur undangan (USMI) untuk masuk ke perguruan tinggi. Saat itu saya daftar ke UGM, IPB dan UPI. Karena perasaan takut mengikuti UMPTN itulah saya memutuskan untuk tetap di jalur USMI saja. Entah kenapa saya begitu berat untuk mengikuti UMPTN. Padahal dari nilai ujian sekolah saya termasuk yang cukup bagus. Karena rasa takut itulah saya memutuskan untuk tetap tidak ikut UMPTN, saya mencukupkan dengan jalur USMI. Alhamdulillahnya saya diterima di IPB melalui jalur ini.
Sekarang baru saya menyadari betul bahwa rasa takut itu kadang bisa menghalangi kita mendapatkan prestasi terbaik. Banyak peluang akhirnya tak sepenuhnya saya dapatkan karena rasa takut itu. Banyak prestasi yang tak bisa terciptakan karena juga rasa takut yang menghalangi saya.
Orang-orang hebat itu bukannya tidak punya rasa takut. Ia juga punya karena setiap manusia pasti ada rasa takut. Mereka mampu mengelola rasa takut itu sehingga tidak menghentikannya untuk berbuat. Orang-orang hebat itu ia tetap berbuat, tetap mengambil keputusan, tetap bertindak meski ada rasa takut. Ketakutan dalam dirinya tak menghambat dia untuk melangkah.
Sedangkan orang-orang gagal, ketakutan selalu menghentikan dia untuk segera bertindak. Untuk melakukan perbaikan kinerja, ada saja rasa takut. Bagaimana kalau nanti gagal. Bagaimana kalau nanti tidak kesampaian. Saat mau menyampaikan ide besar kepada atasan, ketakutan menghentikannya untuk segera take action. Bagaimana kalau nanti ditolak? Pebisnis juga demikian. Kalau setiap rasa takut itu diikuti, tentu tak mungkin akan mengambil keputusan besar melakukan perubahan strategi pemasaran.
Ketakutan tak bisa hilang dari dalam diri kita. Ia selalu ada. Kita tidak mungkin menghilangkannya. Kita hanya bisa mengendalikan, mengalihkan dan mengarahkannya agar tidak menghambat prestasi kita. Jadi, kalau ada rasa takut untuk memulai berbisnis, coba telusuri apa sebabnya. Bisa jadi itu hanya perasaan yang tidak beralasan. Kalau ada rasa takut untuk mengusulkan ide kreatif kepada manajemen di tempat kita bekerja, apa landasan ketakutan itu. Jika karena takut ditolak, bukankah itu harusnya jadi pendorong agar penjelasan kita harus bisa meyakinkan atasan?
Jangan sampai ketakutan menghalangi kita dari prestasi. Jangan sampai ketakutan menghambat kita dari perbaikan hidup kita. Yuk berubah. Jadikan ketakutan sebagai pendorong kita untuk terus bergerak, bukan penghambat untuk bertindak. Takut sih, tapi aku harus tetap melakukannya! Berani?